Tuesday, August 22, 2017

Saya Titip Doa

Tadi siang, saya berpapasan dengan seorang tukang ojek daring. Tukang ojek itu perempuan dan jaket yang dikenakannya masih terlihat baru. Usianya sekira empat puluh atau empat puluh lima. Berkacamata, berjilbab hijau toska. Motor yang dikendarainya adalah motor bebek lawas, senada dengan helm hitamnya yang sudah kusam.

Tidak ada penumpang yang membonceng di belakangnya. Mungkin ia baru saja keluar narik, mungkin saja ia baru menurunkan penumpang di tempat lain. Mungkin. Tapi dari gesturnya yang berhasil saya tangkap sekilas, perempuan itu sepertinya sedang menanti pemberitahuan dari seluler pintar yang terpasang di dasbor motornya.

Ketika motor bebek itu berlalu ke arah berlawanan, saya menitipkan selaksa doa untuknya.

Saya lalu teringat dengan peristiwa yang lain lagi.

Malam itu sudah lewat pukul sepuluh. Saya berencana ke tempat agen ekspedisi untuk mengantarkan paket. Ketika saya sudah keluar komplek dan bertemu dengan perempatan Puskesmas Kembangan yang menyebalkan-kalau-lagi-macet itu, ada seorang lelaki yang sedang mendorong gerobak melintas di hadapan saya.

Gerobak itu dipasangi banyak sekali lampu. Di dalamnya ada donat warna-warni yang jumlahnya masih cukup banyak. Dalam hati saya membatin, sepertinya penjualan si tukang donat itu hari ini kurang begitu menggembirakan. Niat hati ingin bantu membeli, apa daya, uang yang ada di kantong saya jumlahnya sangat terbatas.

Ketika gerobak berlampu itu saya lewati dan tinggalkan jauh di belakang, saya menitipkan selaksa doa untuknya.

Orang yang pernah merasakan susah dan beratnya berusaha, biasa hatinya akan mudah tersentuh dengan peristiwa-peristiwa semacam itu. Saya teringat dengan bapak yang dulu biasa pulang larut malam, bahkan kadang pulang pagi. Saya teringat dengan mamak yang bangun dini hari untuk menjerang beras dan memasak bubur untuk dijual pagi harinya. Atau ketika saya berkali-kali ditolak oleh warung-warung yang saya singgahi untuk menitipkan keripik singkong buatan mamak. Atau ketika dagangan saya dan istri sepi pembeli dan masih banyak tersisa. Situasi-situasi semacam itu pernah begitu dekat dengan urat nadi saya.

Maka ketika melihat pemandangan orang-orang yang dagangannya tidak begitu laku, bahkan terpaksa ditutup karena sepi pembeli, saya turut merasa sedih juga.

Suatu hari, sepulang dari kantor di jalur yang kerap macet, saya melewati sebuah warung nasi goreng di pinggir jalan. Di dalam warung yang sempit itu, duduk berhadapan seorang lelaki dan perempuan muda di kursi kayu panjang. Lelaki itu adalah si penjual nasi goreng dan perempuan itu adalah istrinya. Perut sang istri tampak besar. Pertanda waktu persalinan tinggal menghitung hari.

Saya mengamati gerobak nasi goreng itu. Nasi di dalam bakulnya, sayur sawinya, jumlah telurnya, jumlah bungkusan mienya, jumlah bungkusan kerupuknya, wajannya yang masih tergantung di salah satu sudutnya, dan belum adanya bekas-bekas nasi yang berjatuhan di sekitar kompornya. Semua itu adalah rangkuman dari pengamatan singkat saya terhadap warung tersebut.

Secara kasat mata, yang terlihat adalah sepasang suami istri muda yang sedang saling menatap tanpa banyak bicara. Tapi di balik tatapan dan diamnya mereka itu, ada harapan dan kecemasan yang menyesaki hati dan jiwanya.

Ketika warung nasi goreng itu saya lewati dan tinggalkan jauh di belakang, saya menitipkan selaksa doa untuknya.

Pada kesempatan yang lain, saya diceritakan oleh teman tentang seorang lelaki tua penjual madu yang tangan kanannya patah karena kecelakaan. Lelaki tua penjual madu itu, katanya, berkeliling menjajakan dagangannya dengan berjalan kaki. Kadang ada yang membeli madunya, tapi lebih sering tidak. Tapi ketika ia berjalan itu, ada saja orang yang memberikannya uang. Entah itu seribu, dua ribu, lima ribu, bahkan pernah juga lima puluh ribu.

“Dia pernah bilang ke saya kalau dia malu dikasih duit terus, bang,” kata teman saya itu.

“Dia maunya dagangannya dibeli, bang, bukan dikasianin,” lanjutnya lagi.

Rakyat jelata yang entah namanya siapa itu, meski miskin papa, tapi ia punya harga diri yang tak terhingga. Dan, menurut saya, orang-orang yang membanting tulangnya untuk bekerja secara jujur dan menghindarkan diri dari meminta-minta, adalah semulia-mulianya manusia.

Memang benar kata Kanjeng Nabi dalam hadits yang Muttafaq Alaih, bahwasanya “Seorang yang membawa tambang lalu pergi mencari dan mengumpulkan kayu bakar lantas dibawanya ke pasar untuk dijual dan uangnya digunakan untuk mencukupi kebutuhan dan nafkah dirinya maka itu lebih baik dari seorang yang meminta-minta kepada orang-orang yang terkadang diberi dan kadang ditolak.”

Dan kepada orang-orang itulah, saya menitipkan selaksa doa buat mereka semua. [pedestrianisme]





Juni 2017

0 comments:

Post a Comment

Powered by Blogger.