Malam
ini saya menunggu tukang nasgor gerobakan yang biasa lewat di depan
rumah. Tak tek tak tek. Suara sutil beradu dengan wajan sudah terdengar
di pertigaan. Saya lalu membuka pintu dan memanggil si mas penjual
berlogat Jawa ngapak itu.
"Nasgor!"
Setelah si tukang memarkir gerobaknya di depan pagar, saya lalu memberikan piring kepadanya.
"Nasgor, mas. Pedes. Cabenya dua sendok. Jangan pake vetsin. Telornya dua didadar. Berapa?"
"Empat belas rebu, pak."
Saya mengangsurkan uang lima belas ribu.
"Fidel, kamu pegang kembaliannya, sekalian tolong bawain piring ke
dalem kalo nasgornya udah jadi," perintah saya kepada si Tengah yang
sedari tadi mengekor di belakang.
Saya lalu kembali ke kamar, melanjutkan bacaan yang tertunda ketika si Sulung datang mendekat.
"Abi, mbak Azka mau nasgornya."
"Lho, bukannya kamu barusan udah makan?"
"Iya, tapi mbak Azka masih lapar."
"Fidel juga mau, bi," si Tengah nimbrung juga.
Heran saya. Belum ada sejam yang lalu mereka makan bareng uminya, sekarang sudah minta makan lagi.
"Ya, udah. Mbak Azka, kamu bilang ke masnya supaya nasgornya jangan dibikin pedes."
Si Sulung langsung berlari ke depan rumah untuk merevisi orderan nasgor saya.
Tidak sampai lima menit, nasgor datang. Si Sulung dan si Tengah
langsung mengambil posisi makan sementara uminya mengambilkan sendok
untuk keduanya.
"Abi nggak jadi makan nasgor?" tanya istri.
"Biarin buat anak-anak aja."
Ketika keduanya makan dengan lahap, sambil memegang buku komik di tangannya, saya teringat dengan diri saya sendiri.
Lebih dari dua puluh tahun yang lalu, saya merengek kepada bapak minta
dibelikan ayam panggang yang diputar di dalam kotak kaca. Ayam panggang
tersebut ketika itu dijual di Hero, Kreo, di pelataran supermarket, yang
aromanya selalu menggugah saya ketika saya melewati jalan itu.
Beliau tidak langsung mengiyakan saat itu juga. Tapi akhirnya beliau
beli juga buat syukuran hari lahir saya. Ketika ayam panggang yang
dibungkus di dalam kotak karton itu saya buka, sembari menguarkan
aromanya yang lezat, saya langsung memakannya dengan lahap. Itu ayam
panggang pertama dalam hidup saya.
Ketika makan, karena saking
lahapnya, saya tidak sempat menawari bapak. Saya juga tidak terpikir
untuk melirik ke arah beliau yang, saya kira, sedang mengamati
anak-anaknya yang tengah makan dengan lahap ini.
Akan tetapi,
saya yakin, memandangi anak-anak yang sedang makan dengan lahap adalah
kebiasaan yang akan dilakukan oleh -- nyaris -- semua orangtua. Meski
untuk mendapatkan pemandangan itu, terkadang, para orangtua harus
merogoh kantong mereka dalam-dalam.
0 comments:
Post a Comment