Tuesday, August 22, 2017

Melihat Takdir Bekerja

Seorang pengamen selesai menyanyikan sebuah lagu di bawah jembatan layang yang memisahkan jalan Veteran dan jalan Hasyim Asyari. Ia lalu melepaskan topi dengan tangan kanannya dan menengadahkannya ke atas, bergerak di sela-sela motor yang mengantri lampu merah dengan sabar, sementara tangan kirinya menggenggam ukulele yang baru saja dimainkannya. Satu demi satu tangan dari para pengendara terjulur memberikan sejumlah uang kepadanya. Ada yang memberi sekeping, dua keping, selembar, dua lembar. Ada juga yang tidak memberi sama sekali dan tidak mengacuhkan keberadaan pengamen itu.

Lagu yang dibawakannya, boleh dibilang, biasa-biasa saja. Tidak terlalu istimewa meski tidak juga sumbang. Kesimpulannya: cukup baik dan lumayan merdu. Setidaknya untuk setingkat seorang pengamen di perempatan jalan yang kerap bernyanyi sekenanya. Ketika pengamen itu bergerak di sela-sela antrian kendaraan yang makin padat, dari belakang seorang pengendara perempuan, saya melihat ada tangan terjulur yang hendak memberikan sejumlah uang kepadanya.

Mungkin karena pandangan pengamen itu terhalang oleh sesuatu, sekeping uang yang sedianya berada tepat di samping pengamen itu ternyata tidak tergubris olehnya. Pengamen itu hanya berjalan terus ke barisan yang ada di belakang dan mengais rupiah demi rupiah dari tangan-tangan lainnya yang terhibur, atau kasihan, dengan penampilannya. Semakin ia berjalan ke belakang, maka terlewatlah satu peluang yang memungkinkannya untuk mendapatkan uang dari tangan terjulur yang terlewat olehnya itu.

Peristiwa yang berlangsung singkat itu kemudian membuat saya merenung. Kejadian pengamen yang melewatkan, atau terlewatkan, sebuah pemberian karena terhalang sesuatu yang entah namanya apa itu membuat saya terpikir tentang satu kata: takdir.

Terkadang, ada lelaki yang begitu mengagumi seorang perempuan, tapi keduanya tidak bisa bersatu di pelaminan. Ada seorang perempuan yang menggilai seorang lelaki, tapi pujaan hatinya justru bersanding dengan orang lain. Ada orang yang memupuk kecintaannya setiap hari kepada seseorang, tapi cinta itu justru bertepuk sebelah tangan. Ada lelaki dan perempuan yang saling mengagumi, yang secara kasat mata peluang untuk bersatu sedemikian besar karena ditunjang dengan faktor-faktor yang memang memudahkan mereka untuk bersatu juga sama besarnya, tapi kisah merah-jingga malah berakhir dengan perpisahan.

Waktu kemudian berlalu dan orang-orang itu kemudian menjalani takdir mereka masing-masing. Sang lelaki kemudian menikah dengan gadis lain yang dahulu mungkin tidak pernah terlintas bahwa gadis itulah yang akan menjadi pelabuhan hatinya, juga sebaliknya. Tak jarang, persatuan dua hati yang berbeda itu terjadi di tempat lain yang tak pernah terbayang oleh keduanya, dalam cara yang tak pernah direncanakan sebelumnya oleh mereka.

Di perempatan yang disesaki dengan aroma knalpot kendaraan dan gerak lelah dari tubuh-tubuh yang tengah berdesakan menuju tempat tetirahnya itu, saya mencoba untuk mengerti tentang satu hal: tentang bagaimana melihat takdir bekerja. [pedestrianisme]


April 2017

0 comments:

Post a Comment

Powered by Blogger.