Tuesday, August 22, 2017

Melihat Takdir Bekerja

Seorang pengamen selesai menyanyikan sebuah lagu di bawah jembatan layang yang memisahkan jalan Veteran dan jalan Hasyim Asyari. Ia lalu melepaskan topi dengan tangan kanannya dan menengadahkannya ke atas, bergerak di sela-sela motor yang mengantri lampu merah dengan sabar, sementara tangan kirinya menggenggam ukulele yang baru saja dimainkannya. Satu demi satu tangan dari para pengendara terjulur memberikan sejumlah uang kepadanya. Ada yang memberi sekeping, dua keping, selembar, dua lembar. Ada juga yang tidak memberi sama sekali dan tidak mengacuhkan keberadaan pengamen itu.

Lagu yang dibawakannya, boleh dibilang, biasa-biasa saja. Tidak terlalu istimewa meski tidak juga sumbang. Kesimpulannya: cukup baik dan lumayan merdu. Setidaknya untuk setingkat seorang pengamen di perempatan jalan yang kerap bernyanyi sekenanya. Ketika pengamen itu bergerak di sela-sela antrian kendaraan yang makin padat, dari belakang seorang pengendara perempuan, saya melihat ada tangan terjulur yang hendak memberikan sejumlah uang kepadanya.

Mungkin karena pandangan pengamen itu terhalang oleh sesuatu, sekeping uang yang sedianya berada tepat di samping pengamen itu ternyata tidak tergubris olehnya. Pengamen itu hanya berjalan terus ke barisan yang ada di belakang dan mengais rupiah demi rupiah dari tangan-tangan lainnya yang terhibur, atau kasihan, dengan penampilannya. Semakin ia berjalan ke belakang, maka terlewatlah satu peluang yang memungkinkannya untuk mendapatkan uang dari tangan terjulur yang terlewat olehnya itu.

Peristiwa yang berlangsung singkat itu kemudian membuat saya merenung. Kejadian pengamen yang melewatkan, atau terlewatkan, sebuah pemberian karena terhalang sesuatu yang entah namanya apa itu membuat saya terpikir tentang satu kata: takdir.

Terkadang, ada lelaki yang begitu mengagumi seorang perempuan, tapi keduanya tidak bisa bersatu di pelaminan. Ada seorang perempuan yang menggilai seorang lelaki, tapi pujaan hatinya justru bersanding dengan orang lain. Ada orang yang memupuk kecintaannya setiap hari kepada seseorang, tapi cinta itu justru bertepuk sebelah tangan. Ada lelaki dan perempuan yang saling mengagumi, yang secara kasat mata peluang untuk bersatu sedemikian besar karena ditunjang dengan faktor-faktor yang memang memudahkan mereka untuk bersatu juga sama besarnya, tapi kisah merah-jingga malah berakhir dengan perpisahan.

Waktu kemudian berlalu dan orang-orang itu kemudian menjalani takdir mereka masing-masing. Sang lelaki kemudian menikah dengan gadis lain yang dahulu mungkin tidak pernah terlintas bahwa gadis itulah yang akan menjadi pelabuhan hatinya, juga sebaliknya. Tak jarang, persatuan dua hati yang berbeda itu terjadi di tempat lain yang tak pernah terbayang oleh keduanya, dalam cara yang tak pernah direncanakan sebelumnya oleh mereka.

Di perempatan yang disesaki dengan aroma knalpot kendaraan dan gerak lelah dari tubuh-tubuh yang tengah berdesakan menuju tempat tetirahnya itu, saya mencoba untuk mengerti tentang satu hal: tentang bagaimana melihat takdir bekerja. [pedestrianisme]


April 2017

Nasgor

Malam ini saya menunggu tukang nasgor gerobakan yang biasa lewat di depan rumah. Tak tek tak tek. Suara sutil beradu dengan wajan sudah terdengar di pertigaan. Saya lalu membuka pintu dan memanggil si mas penjual berlogat Jawa ngapak itu.

"Nasgor!"

Setelah si tukang memarkir gerobaknya di depan pagar, saya lalu memberikan piring kepadanya.

"Nasgor, mas. Pedes. Cabenya dua sendok. Jangan pake vetsin. Telornya dua didadar. Berapa?"

"Empat belas rebu, pak."

Saya mengangsurkan uang lima belas ribu.

"Fidel, kamu pegang kembaliannya, sekalian tolong bawain piring ke dalem kalo nasgornya udah jadi," perintah saya kepada si Tengah yang sedari tadi mengekor di belakang.

Saya lalu kembali ke kamar, melanjutkan bacaan yang tertunda ketika si Sulung datang mendekat.

"Abi, mbak Azka mau nasgornya."

"Lho, bukannya kamu barusan udah makan?"

"Iya, tapi mbak Azka masih lapar."

"Fidel juga mau, bi," si Tengah nimbrung juga.

Heran saya. Belum ada sejam yang lalu mereka makan bareng uminya, sekarang sudah minta makan lagi.

"Ya, udah. Mbak Azka, kamu bilang ke masnya supaya nasgornya jangan dibikin pedes."

Si Sulung langsung berlari ke depan rumah untuk merevisi orderan nasgor saya.

Tidak sampai lima menit, nasgor datang. Si Sulung dan si Tengah langsung mengambil posisi makan sementara uminya mengambilkan sendok untuk keduanya.

"Abi nggak jadi makan nasgor?" tanya istri.

"Biarin buat anak-anak aja."

Ketika keduanya makan dengan lahap, sambil memegang buku komik di tangannya, saya teringat dengan diri saya sendiri.

Lebih dari dua puluh tahun yang lalu, saya merengek kepada bapak minta dibelikan ayam panggang yang diputar di dalam kotak kaca. Ayam panggang tersebut ketika itu dijual di Hero, Kreo, di pelataran supermarket, yang aromanya selalu menggugah saya ketika saya melewati jalan itu.

Beliau tidak langsung mengiyakan saat itu juga. Tapi akhirnya beliau beli juga buat syukuran hari lahir saya. Ketika ayam panggang yang dibungkus di dalam kotak karton itu saya buka, sembari menguarkan aromanya yang lezat, saya langsung memakannya dengan lahap. Itu ayam panggang pertama dalam hidup saya.

Ketika makan, karena saking lahapnya, saya tidak sempat menawari bapak. Saya juga tidak terpikir untuk melirik ke arah beliau yang, saya kira, sedang mengamati anak-anaknya yang tengah makan dengan lahap ini.

Akan tetapi, saya yakin, memandangi anak-anak yang sedang makan dengan lahap adalah kebiasaan yang akan dilakukan oleh -- nyaris -- semua orangtua. Meski untuk mendapatkan pemandangan itu, terkadang, para orangtua harus merogoh kantong mereka dalam-dalam.

Saya Titip Doa

Tadi siang, saya berpapasan dengan seorang tukang ojek daring. Tukang ojek itu perempuan dan jaket yang dikenakannya masih terlihat baru. Usianya sekira empat puluh atau empat puluh lima. Berkacamata, berjilbab hijau toska. Motor yang dikendarainya adalah motor bebek lawas, senada dengan helm hitamnya yang sudah kusam.

Tidak ada penumpang yang membonceng di belakangnya. Mungkin ia baru saja keluar narik, mungkin saja ia baru menurunkan penumpang di tempat lain. Mungkin. Tapi dari gesturnya yang berhasil saya tangkap sekilas, perempuan itu sepertinya sedang menanti pemberitahuan dari seluler pintar yang terpasang di dasbor motornya.

Ketika motor bebek itu berlalu ke arah berlawanan, saya menitipkan selaksa doa untuknya.

Saya lalu teringat dengan peristiwa yang lain lagi.

Malam itu sudah lewat pukul sepuluh. Saya berencana ke tempat agen ekspedisi untuk mengantarkan paket. Ketika saya sudah keluar komplek dan bertemu dengan perempatan Puskesmas Kembangan yang menyebalkan-kalau-lagi-macet itu, ada seorang lelaki yang sedang mendorong gerobak melintas di hadapan saya.

Gerobak itu dipasangi banyak sekali lampu. Di dalamnya ada donat warna-warni yang jumlahnya masih cukup banyak. Dalam hati saya membatin, sepertinya penjualan si tukang donat itu hari ini kurang begitu menggembirakan. Niat hati ingin bantu membeli, apa daya, uang yang ada di kantong saya jumlahnya sangat terbatas.

Ketika gerobak berlampu itu saya lewati dan tinggalkan jauh di belakang, saya menitipkan selaksa doa untuknya.

Orang yang pernah merasakan susah dan beratnya berusaha, biasa hatinya akan mudah tersentuh dengan peristiwa-peristiwa semacam itu. Saya teringat dengan bapak yang dulu biasa pulang larut malam, bahkan kadang pulang pagi. Saya teringat dengan mamak yang bangun dini hari untuk menjerang beras dan memasak bubur untuk dijual pagi harinya. Atau ketika saya berkali-kali ditolak oleh warung-warung yang saya singgahi untuk menitipkan keripik singkong buatan mamak. Atau ketika dagangan saya dan istri sepi pembeli dan masih banyak tersisa. Situasi-situasi semacam itu pernah begitu dekat dengan urat nadi saya.

Maka ketika melihat pemandangan orang-orang yang dagangannya tidak begitu laku, bahkan terpaksa ditutup karena sepi pembeli, saya turut merasa sedih juga.

Suatu hari, sepulang dari kantor di jalur yang kerap macet, saya melewati sebuah warung nasi goreng di pinggir jalan. Di dalam warung yang sempit itu, duduk berhadapan seorang lelaki dan perempuan muda di kursi kayu panjang. Lelaki itu adalah si penjual nasi goreng dan perempuan itu adalah istrinya. Perut sang istri tampak besar. Pertanda waktu persalinan tinggal menghitung hari.

Saya mengamati gerobak nasi goreng itu. Nasi di dalam bakulnya, sayur sawinya, jumlah telurnya, jumlah bungkusan mienya, jumlah bungkusan kerupuknya, wajannya yang masih tergantung di salah satu sudutnya, dan belum adanya bekas-bekas nasi yang berjatuhan di sekitar kompornya. Semua itu adalah rangkuman dari pengamatan singkat saya terhadap warung tersebut.

Secara kasat mata, yang terlihat adalah sepasang suami istri muda yang sedang saling menatap tanpa banyak bicara. Tapi di balik tatapan dan diamnya mereka itu, ada harapan dan kecemasan yang menyesaki hati dan jiwanya.

Ketika warung nasi goreng itu saya lewati dan tinggalkan jauh di belakang, saya menitipkan selaksa doa untuknya.

Pada kesempatan yang lain, saya diceritakan oleh teman tentang seorang lelaki tua penjual madu yang tangan kanannya patah karena kecelakaan. Lelaki tua penjual madu itu, katanya, berkeliling menjajakan dagangannya dengan berjalan kaki. Kadang ada yang membeli madunya, tapi lebih sering tidak. Tapi ketika ia berjalan itu, ada saja orang yang memberikannya uang. Entah itu seribu, dua ribu, lima ribu, bahkan pernah juga lima puluh ribu.

“Dia pernah bilang ke saya kalau dia malu dikasih duit terus, bang,” kata teman saya itu.

“Dia maunya dagangannya dibeli, bang, bukan dikasianin,” lanjutnya lagi.

Rakyat jelata yang entah namanya siapa itu, meski miskin papa, tapi ia punya harga diri yang tak terhingga. Dan, menurut saya, orang-orang yang membanting tulangnya untuk bekerja secara jujur dan menghindarkan diri dari meminta-minta, adalah semulia-mulianya manusia.

Memang benar kata Kanjeng Nabi dalam hadits yang Muttafaq Alaih, bahwasanya “Seorang yang membawa tambang lalu pergi mencari dan mengumpulkan kayu bakar lantas dibawanya ke pasar untuk dijual dan uangnya digunakan untuk mencukupi kebutuhan dan nafkah dirinya maka itu lebih baik dari seorang yang meminta-minta kepada orang-orang yang terkadang diberi dan kadang ditolak.”

Dan kepada orang-orang itulah, saya menitipkan selaksa doa buat mereka semua. [pedestrianisme]





Juni 2017

Kue Rangi


Akhir pekan kemarin, saat bersepeda ke Bintaro, saya bertemu dengan seorang teman yang sudah lama tidak saya jumpai. Mungkin sudah sepuluh tahun kami tak bertemu sejak saya merantau ke Sulawesi. Sambil menunggu kue rangi yang saya pesan dari penjual di pinggir jalan itu masak, saya berbincang cukup lama dengannya yang ketika saya temui sedang menenteng tabung gas berwarna hijau itu.

"Keliatannya sibuk banget, pak?" tanya saya.

"Yah, alhamdulillah, Nuk. Ini, "katanya sambil menunjukkan tabung gas yang dibawanya, "buat bantu-bantu istri yang jualan gorengan."

"Iya, tadi saya liat rame juga warung sampeyan, pak."

"Alhamdulillah, Nuk."

Dan berceritalah ia tentang dagangan istrinya yang ramai pembeli, pesanan-pesanan yang tak kunjung habis, usaha dagang bajunya yang lumayan berkembang, termasuk juga tentang ketiga anaknya yang semuanya merantau di Gontor. Anak tertuanya kuliah di sana, sementara dua lainnya masih SMA dan SMP di tempat yang sama.

"Capek sebenernya saya ini, Nuk. Mana udah tua begini. Tapi mau nggak mau saya harus kerja keras supaya anak-anak bisa sekolah."

Saya mengamati wajahnya yang tampak jauh lebih tua jika dibandingkan dengan wajahnya sepuluh tahun yang lalu, juga entah berapa banyak uban yang kini mengganti warna rambut hitamnya menjadi sewarna perak.

"Yang penting masih diberikan kesehatan, pak."

"Alhamdulillah, Nuk. Selama ini sih sehat-sehat aja. Ya, kalo masuk angin sedikit wajarlah. Namanya juga sudah tua."

Ia terkekeh. Rangi pesanan saya sudah matang. Penjualnya yang masih muda itu mengantarkan sekantong plastik kecil berisi empat buah kue rangi panas sembari menyerahkan uang kembalian.

"Tapi bisa jadi, Nuk," lanjutnya sembari memerhatikan saya yang sedang mengigit kue rangi, "banyaknya orderan dan kelancaran rezeki, termasuk juga kesehatan, yang saya nikmati saat ini adalah anugerah yang Allah titipkan untuk anak-anak melalui kita sebagai perantaranya. Jadi, yah, walaupun rasanya capek, selama masih dikasih kemampuan dan kesehatan sama Allah, dijalani saja."

Saya terdiam menyimak kata-katanya barusan. Sementara itu, gula merah di kue rangi yang saya pegang mulai mencair sedikit demi sedikit. Hari sudah beranjak siang dan kue rangi yang manis itu membuat saya merasa sedikit haus. [pedestrianisme]


Juli 2017

Lelaki Berblangkon Miring

Waktu magrib sudah lewat beberapa menit yang lalu.

Di bawah bayang-bayang langit senja yang memerah tua, sosok itu berjalan dengan langkah pelan. Ketika lampu kendaraan yang lewat di jalan itu menyapu kegelapan, sosok yang sedang berjalan ke arah saya itu mulai tampak jelas. Ia seorang lelaki berusia kira-kira tiga puluh lima sampai empat puluh tahun. Kurus. Sangat kurus. Berbaju bahan satin warna merah jambu yang tampak kebesaran. Wajahnya dipenuhi bedak putih tebal, sementara alisnya dikelir sehingga terlihat kontras dengan wajahnya yang tampak pucat. Blangkon kain bermotif batik terpasang miring di atas kepalanya.

Sementara itu, di pinggangnya dililit oleh kain jarik cokelat yang membalut sebagian celana pangsi berwarna hitam. Ia tidak memakai sendal. Di depan dadanya, melintang sebuah tali karet. Tali itu menyangga sebuah benda berbentuk kotak dengan kabel pendek yang tersambung dengan mikrofon kecil di tangan kirinya. Lelaki itu, dugaan saya, adalah seorang pengamen.

Lelaki kurus itu berjalan dengan kepala tertunduk. Suara musik dangdut bervolume pelan mengiringi langkahnya yang pendek-pendek. Lampu dari kendaraan yang melewatinya sesekali menyapu wajahnya yang tampak lelah. Dugaan saya, lagi, lelaki itu sedang berjalan pulang setelah seharian mengamen. Mungkin ia sedang menuju rumah kontrakannya yang berlokasi entah di mana. Membawa uang receh tak seberapa yang telah ia kumpulkan dengan susah payah, untuk ditukar dengan mimpi anak istrinya yang makin hari terasa makin sulit dijangkaunya.

Langit senja menggelap sempurna.

Andai saya tahu siapa anak dari lelaki kurus itu, saya mungkin akan menyeretnya ke tempat saya melihat sosok bapaknya saat ini seraya berkata, "Nak, Dik, lihatlah lelaki itu. Itu bapakmu, Nak, Dik. Lihat, apa yang sudah ia lakukan seharian ini agar ia mampu memenuhi keinginanmu, Nak, Dik. Lihat wajahnya, lihat langkah gontainya, lihat kakinya yang tanpa alas itu, yang telah mengukur jalanan seharian ini agar kau bisa membeli sepatu baru yang akan menggantikan sepatu bututmu yang sudah robek di sana-sini itu. Sepatu baru yang akan kau pakai ke sekolah dan kau banggakan di depan teman-temanmu itu, Nak, Dik."

Kendaraan yang lalu-lalang di jalan sempit itu semakin banyak. Lelaki kurus itu tampak harus menjaga langkahnya agar tidak mengundang celaka bagi dirinya. Sesekali ia berhenti dan menunggu antrian kendaraan yang makin mengular itu terurai satu demi satu.

Saya lalu menghidupkan motor, memasukkan gigi dan menarik tuas gas perlahan. Dari jarak yang tidak terlalu jauh, saya mengamati lelaki itu yang tampaknya ingin mengambil sebuah jalan kecil agar terhindar dari lalu-lalang kendaraan. Saya berusaha mengejarnya, dan, akhirnya dapat.

Saya memanggilnya. Ia menoleh. Mungkin kaget dengan panggilan dari orang yang tak dikenalnya. Di balik wajah berpupur tebal itu, ia mengamati wajah saya yang tertutup masker dengan tatapan ragu yang seolah bermakna "Sampeyan memanggil saya?"

Ia menghentikan langkahnya di bawah sebuah pohon mangga.

"Mas! Tunggu!"

"Saya?"

"Iya, sampeyan."

"Ada apa ya, pak?"

Saya turun dari motor dan mendekatinya. Tangan kanannya yang tidak memegang apa-apa itu langsung saya ambil. Saya serahkan sesuatu kepadanya. Ia tampak terkejut dengan pemberian itu. Saya berbalik dan, dengan gerakan yang sangat canggung, langsung berusaha tancap gas, meninggalkannya yang berdiri mematung di pinggir jalan yang gelap itu. Saat motor yang saya kendarai hendak berbelok ke jalan utama, saya mendengar potongan teriakan lelaki itu yang langsung tercabik oleh bisingnya kondisi jalanan malam itu.

"Terima ka..."

Kata-kata yang membuat hati bahagia dan melapangkan sempitnya jiwa-jiwa.

Raga Bukan Jiwa

Pagi ini saya menyengaja berangkat ke kantor lewat jalur yang berbeda dari biasanya. Jalanan belum ramai benar meski di beberapa lokasi sudah terjadi sedikit antrian kendaraan. Semua berjalan biasa sebagaimana yang lazimnya terjadi di wilayah pinggiran Jakarta sampai akhirnya saya melihat sebuah pemandangan yang menarik.

Ada seorang suami dan istrinya yang sedang menggendong anaknya yang masih bayi berdiri di salah satu sisi jalan. Sebuah keluarga muda. Suaminya berpakaian necis, lengkap dengan jaket jas dan tas ransel berwarna hitam yang ditaruh di dekat kakinya. Sementara istrinya berpakaian rumahan: rapi, sederhana.

Dari gestur yang terlihat, sang suami sepertinya hendak berangkat kerja (atau ke suatu tempat) dan sang istri, beserta anaknya yang masih bayi, mengantarnya sampai ke pinggir jalan. Saya mengamati keluarga muda itu. Perkiraan saya, keduanya belum genap berusia dua puluh lima, atau di kisaran dua puluh lima dan dua puluh enam.

Pasangan muda itu tampak sedang berbincang kecil. Suasana lalu lintas yang tidak seberapa ramai tidak sampai membuat mereka saling menaikkan suara. Dari amatan saya, sang suami yang terlihat memegang kendali pembicaraan, sementara istrinya tampak khidmat menyimak.

Mungkin ia sedang berpesan kepada istrinya bahwa ia akan pulang terlambat. Saya membayangkan alasan-alasan yang mungkin dikatakan sang suami: bahwa situasi lalu lintas akhir-akhir ini sedang sulit diprediksi, bahwa atasannya di kantor memerlukan bantuannya untuk menyelesaikan pekerjaan yang tenggat waktunya akan habis, bahwa ia akan mengikuti pesta perpisahan teman kantor yang dimutasi ke suatu daerah, bahwa ia akan mengunjungi seorang kenalan yang istrinya baru saja melahirkan, dan alasan-alasan lainnya.

Istrinya tampak sesekali mengangguk dan beberapa detik kemudian, keduanya sudah tampak siap berpisah. Mungkin bus yang akan dinaiki oleh suaminya sudah dekat, atau taksi yang dipesan mereka sudah terlihat. Sang suami menggendong anaknya yang masih bayi, menciuminya, dan tampak sedang mengurapinya dengan kata-kata yang baik sementara sang istri memandangi bapak dan anak itu sambil tersenyum. Setelah menyerahkan sang anak kepada istrinya, ia lalu mencium pipi kiri dan kanan perempuan muda itu, yang diikuti dengan sang istri yang mencium tangan suaminya.

Saya tidak tahu bagaimana kelanjutan adegan singkat itu karena antrean kendaraan yang ada di depan saya berangsur terurai dan saya harus maju terus. Peristiwa singkat yang baru saja saya lihat barusan itu bisa jadi merupakan peristiwa yang biasa-biasa saja. Mungkin ada yang menganggap bahwa peristiwa istri yang sedang melepas suami untuk bekerja adalah suatu kelaziman, sebagaimana para istri di zaman purba yang melepas suami-suami mereka berburu di alam bebas dan pulang ke rumah membawa hasil buruan yang bisa mereka nikmati.

Tapi saya kemudian tersadar, bahwa meski tampak sederhana, peristiwa kecil itu bisa jadi suatu kemewahan tersendiri bagi pasangan suami istri yang dipisahkan oleh jarak. Long distance love. Long distance relationship. Sebut saja demikian. Pasangan yang, mungkin, baru saja dikaruniai anak, lalu sang ayah harus keburu pergi ke tempat lain demi menyambung mimpi mereka sementara sang ibu menjaga dan membesarkan sang anak di rumah. Atau mereka yang berangkat saat langit masih gelap dan malam masih enggan beranjak. Meninggalkan anak-anak mereka yang masih terlelap dan wajah istri yang masih berbau bantal. Atau kemungkinan-kemungkinan lainnya. Saya tidak tahu.

Peristiwa berpisahnya suami dan istri di pinggir jalan yang agak ramai pagi hari itu mungkin terlihat biasa. Tapi saya tidak memandangnya demikian. Ada banyak dimensi yang terlibat dari peristiwa sederhana itu. Sesuatu yang tampak tenang di permukaan biasanya menyimpan kerumitannya tersendiri di bawah permukaannya. Peristiwa itu juga mengajarkan saya bersyukur, bahwa saya masih diberikan kesempatan untuk melakukan ritual itu betapapun masih jauh dari kata sempurna.

Namun betapapun pahitnya sebuah perpisahan, hati yang saling mencinta akan tetap terpaut. Karena lautan, jalanan, pegunungan, dan hutan-hutan hanya memisahkan raga dengan raga, bukan jiwa dengan jiwa.

Oportunis

Tempo hari, saya ke Tanjung Duren. Karena berangkatnya dari Meruya, maka lewatlah saya di pinggir jalan tol. Jalan Arjuna Utara itu. Tol Kebun Jeruk sendiri yang ke arah Tomang, sebagaimana biasanya, lumayan padat cenderung merayap.

Lewat depan kantor pajak, terdengar sirene dan suara klakson dari arah belakang. Ternyata dari dalam tol. Saya melihat sebuah SUV besar berwarna hitam lengkap dengan lampu rotary biru di atasnya, sedang berusaha membongkar antrian kendaraan yang ada di depannya. Mobil itu tak henti-hentinya membunyikan klakson yang suaranya mirip dengan klakson mobil polisi itu. Saya melihat platnya: hitam. Biasa. Bukan nomor plat istimewa.

Sebuah truk besar menyingkir dengan susah payah karena keributan itu. Begitu juga ketika jalurnya terhalang dengan dua buah bus kota. Ketika mobil-mobil besar itu berhasil dilewatinya, SUV hitam yang berisik itu kembali dihadang dengan mobil lain: sebuah hatchback yang dikendarai seorang perempuan.

Tanpa ampun, SUV hitam itu memberondong hatchback itu dengan suara sirine dan klaksonnya yang terdengar mencolok siang itu. Dari seberang kedua mobil itu, saya melihat siluet perempuan yang sepertinya terlihat gugup dengan berondongan suara itu. Perempuan yang malang, batin saya.

Andai suara sirine yang meraung itu milik mobil ambulan, maka saya akan memakluminya jika bertindak demikian. Tapi kenyataannya bukan, dan saya hanya bisa mengelus dada karenanya.

Beberapa detik kemudian, SUV hitam yang pongah itu sudah berhasil menghalau penghalang-penghalangnya. Entah sudah berapa mobil yang berhasil ia singkirkan siang itu.

Tapi ada sesuatu yang menarik perhatian saya. Di belakang SUV hitam itu, ternyata berderet mobil lain yang coba mengikuti prosesi 'babat alas' itu sembari mencari keuntungan dari kebrutalan yang terjadi di salah satu lajur tol tersebut. Di antara yang berderet itu ada mobil LCGC, mobil sejuta umat, dan sebuah mobil blind van.

Dari peristiwa itu saya jadi belajar mengenai cara kerja para oportunis. Bahwa di mana ada kesempatan (baca: pengusiran secara sewenang-wenang), maka di situ ada jalan (untuk mendapatkan keuntungan). Kasus ini juga bisa dipakai dalam konteks yang positif.

Maka benar kata Anis Matta, jebakan kepahlawanan itu biasanya menjerat sahabat-sahabat mereka sendiri. Karena sahabat pahlawan bukanlah pahlawan. Sama halnya dengan sahabat penguasa.
Powered by Blogger.